Kabar gembira datang dari pedalaman Poso, Sulawesi Tengah pada 18 Juli 2016. Pelarian gembong teroris Santoso alias Abu Wardah telah diakhiri. Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT) itu tewas dalam baku tembak dengan Satgas Tinombala di pegunungan Ambarana, Poso.
Saat Santoso tewas, polisi memprediksi jumlah anggota MIT masih 18-20 orang. Saat itu, polisi langsung memetakan kekuatan kelompok Santoso, termasuk siapa yang berpotensi menjadi penerusnya.Second layer-nya Basri. Ada lagi setelah itu yang namanya Ali,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli di Mabes Polri, Jakarta, Selasa 19 Juli 2016.
Awalnya, Basri diduga anggota MIT yang turut tewas https://www.andinismoperustore.com/ dalam baku tembak Senin 18 Juli 2016 di Poso. Namun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian memastikan salah seorang terduga teroris yang tewas bersama Santoso adalah Mukhtar, bukan Basri.
“Bukan (Basri), Mukhtar namanya. Menurut keterangan dari teman-temannya dan saksi-saksi,” kata Tito di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa 19 Juli 2016. Sementara itu, Ali alias Kalora merupakan orang paling senior di MIT. Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Rudy Sufahriadi menjelaskan, “Selama ini kan memang dia paling senior, paling lama jadi teroris di sana.”
Awal Kehadiran Santoso
Peran Abu Tholut memiliki jasa besar bagi kehadiran kelompok Santoso. Abu Tholut adalah tersangka kasus pelatihan teroris di Aceh, namun bebas bersyarat pada Oktober 2015. Abu Tholut merupakan kaki tangan Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Abu Bakar Baasyir, yang memiliki cita-cita mendirikan negara Islam di Poso.
Awal Maret 2010, Santoso datang ke Poso bersama teman-temanya dan mengembangkan wilayah itu untuk menjadi salah satu pusat jihad di Indonesia. Selama di sana, Santoso mencari senjata, menggalang dana serta mengumpulkan senjata untuk memperkuat kelompoknya dan seragam polisi untuk operasi mereka di masa depan.
Pada 2011, kelompok Santoso mulai meneror. Target mereka pertama kali yaitu salah satu bank di Palu. Santoso kemudian kembali melakukan serangan ke Polsek di Palu pada Mei 2011, dan berhasil membobol beberapa sel untuk mendapatkan rekrutan baru. Dalam mengumpulkan dana, kelompok Santoso terlibat dalam aksi kriminal pencurian. Aksi tersebut juga untuk membiayai hidup janda para pelaku teroris yang tewas dalam operasi sebelumnya.
Penyerangan terakhir kelompok itu terjadi pada 15 Maret 2016 kepada personel TNI/Polri. Penyerangan bermula dari kegiatan patroli rutin yang dilakukan oleh Satuan Petugas TNI-Polri dalam Operasi Tinombala di sekitar hutan desa Talabosa, Kecamatan Lore Tengah.
Kronologi Tewasnya Santoso
Ada kelompok satu 16 orang dipimpin Ali Kalora, ada kelompok lima orang dipimpin oleh Santoso dan Basri. Ali Kalora memimpin bersama istrinya, sisanya 15 laki-laki. Yang lima orang ini ada istrinya Santoso bersama Santoso, istrinya Basri sama Basri dan satu laki-laki lain,” Rudy menambahkan. Sejak itu Satuan Tugas (Satgas) Tinombala juga terus memburu anggota kelompok Santoso.
Satgas Operasi Tinombala menyita dua pucuk senjata api usai baku tembak yang menewaskan dua terduga pimpinan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT), Santoso dan Basri di hutan Tambarana, Poso Pesisir Utara. Diduga kuat, senjata api jenis M16 itu buatan pabrikan. “Untuk senjata, informasinya pabrikan,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta.
Pemakaman Santoso
Santoso dimakamkan di Dusun Tosanjaya, Desa Lanjangan, kecamatan Poso Pesisir, Poso. Polisi pun membentuk satuan tugas (satgas) berisi 500 personel untuk mengamankan proses pemakaman Santoso. Satgas itu dipimpin langsung oleh Kapolres Poso AKBP Roni Prasetyo. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menginstruksikan agar proses pemakaman Santoso dijaga ketat. Dengan demikian, tidak terjadi kegaduhan pada saat kegiatan tersebut berlangsung.